BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Arus ujaran merupan suatu runtunan bunyi
yang sambung-bersambung terus-menerus diselang-seling dengan jeda singkat atau
jeda agak singkat, disertai disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah
bunyi, panjang pendek bunyi, dan sebagainya. Dalam arus ujaran itu ada bunyi
yang dapat disegmentasikan, sehingga disebut bunyi segmental; tetapi yang
berkenaan dengan keras lembut, panjang pendek, dan jeda bunyi tidak dapat
disegmentalkan.bagian dari bunyi tersebut disebut bunyi suprasegmental. (Abdul
Chaer, 2007: 120)
Alasan
memilih topik unsur-unsur suprasegmental untuk pengetahuan tentang unsur
suprasegmental. Unsur suprasegmental sangat penting diketahui mempelajari
linguistik dan fonologi karena unsur suprasegmental merupan salah satu unsur
penting dalam fonologi dan banyak yang belum mengetahuinya.
Pentingnya
topik ini dibahas agar pembaca mengetahui bahwa unsur suprasegmental memiliki
beberapa aspek didalamnya. Unsur-unsur suprasegmental terdiri dari unsur
tekanan, unsur nada, unsur jeda, dan unsur durasi. Kesimpulannya unsur
suprasegmental memiliki empat unsur yang harus dibahas dalam mempelajari ilmu
linguistik dan ilmu fonologi.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana unsur tekanan dalam
suprasegmental?
2.
Bagaimana unsur nada dalam suprasegmental?
3.
Bagaimana unsur jeda dalam
suprasegmental?
4.
Bagaimana unsur durasi dalam
suprasegmental?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan unsur nada
2.
Menjelaskan unsur tekanan
3.
Menjelaskan unsur durasi
4.
Menjelaskan unsur jeda
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat di ambil oleh pembaca pada materi
ini yaitu dapat berbicara dengan baik karena mengetahui tentang tekanan, nada,
jeda, dan durasi, dan juga mengetahui
bagaimana terjadinya tekanan, macam-macam nada, dan lain sebagainya.
Selain itu manfaat lain dari karya ilmiah ini bagi mahasiswa yang mengambil
mata kuliah fonologi membantu untuk lebih paham unsur-unsur suprasegmental.
Jadi karya ilmiah ini bermanfaat mengetahui apa yang di maksud unsur
suprasegmental.
BAB II
PEMBAHASAN
Suprasegmental adalah
unsur yang “menemani” dan memengaruhi bunyi bahasa, dan bukan bunyi sejati. Dan
karena bukan bunyi sejati itulah sehingga unsur suprasegmental dinamakan
demikian. Unsur suprasegmental disebut juga prosodi.
Cara yang paling mudah
untuk memahami unsur suprasegmental adalah melalui pendekatan fonetik akustik.
Ada dua sifat akustik yang berpengaruh dalam unsur suprasegmental yaitu
frekuensi dan amplitudo. Kedua unsur ini sangat berpengaruh dalam unsur
suprasegmental yang sangat berkaitan.
Verhaar (2010)
menjelaskan bahwa bunyi-bunyi suprasegmental tersebut meliputi intonansi, nada,
aksen dan tekanan. Sebenarnya, uraian fonetis tentang bunyi-bunyi
suprasegmental hanya merupakan dasar saja untuk uraian fonemis. Namun dalam
banyak hal segi fonetis dan fonemis tiak mudah dibedakan.
Sedangkan Muslich
(2010) menjelaskan bahwa bunyi-bunyi bahasa ketika diucapkan ada yang bisa
disegmen-segmenkan, diruas-ruaskan, atau dipisah-pisahkan, misalnya semua bunyi
vokoid dan kontoid. Bunyi-bunyi yang bisa disegmentasikan ini disebut bunyi
segmental. Tetapi, ada juga bunyi yang tidak dapat disegmen-segmenkan karena
kehadirannya kehadirannya bunyi ini selalu mengiringi, menindih, atau menemani
bunyi segmental (baik vokoid maupin kontoid). Oleh karena itu sifatnya yang
demikian, bunyi itu disebut bunyi suprasegmental, alih-alih disebut bunyi
nonsegmental.
Oleh para fonetisi, bunyi-bunyi
suprasegmental ini dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu yang menyangkut
aspek tinggi-rendah bunyi (nada), keras-lembut bunyi (tekanan), panjang-pendek
bunyi (tempo), dan kesenyapan (jeda).
2.1
Tinggi-Rendah (Nada)
Menurut Muslich (2010)
ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan nada, baik nada
tinggi, sedang, maupun rendah. Hal ini desebabkan oleh adanya faktor ketegangan
pita suara, arus udara, dan posisi pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin
tegang pita suara, yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru,
makin tinggi pula nada bunyi tersebut. Begitu juga, posisi pita suara. Pita
suara yang bergetar lebih cepat akan menentukan tinggi nada suara ketika
berfonasi.
Nada ini menjadi
perhatian fonetisi karena secara linguistis berpengaruh dalam satuan sistem
linguistik tertentu. Misalnya, nada turun menandakan kelengkapan tutur,
sedangkan nada naik menandakan ketidaklengkapan tuturan.
Sedangkan menurut Chaer
(2009) nada atau pitch berkenaan
dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan
dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang
tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu
akan disertai juga dengan nada rendah.
Dalam bahasa Tonal
seperti bahasa Thai dam bahasa Vietnam, nada bersifat fonemis, artinya dapat
membedakan makna kata. Dalam bahasa Tonal, biasanya dikenal ada lima macam
nada, yaitu:
a.
Nada naik atau meninggi yang biasanya
diberi tanda garis ke atas (/).
b.
Nada datar yang biasanya diberi tanda
lurus mendatar (−).
c.
Nada turun atau merendah yang biasanya
diberi tanda garis menurun (\).
d.
Nada turun naik yakni nada yang merendah
kemudian meninggi, biasanya diberi tanda garis seperti (˅).
e.
Nada naik turun yaitu nada yang meninggi
lalu merendah, biasanya diberi tanda seperti (˄).
Sama
halnya dengan tekanan, dalam bahasa Indonesia nada juga tidak “bekerja” pada
tingkat fonemis, melainkan “bekerja” pada tingkat sintaksis, karena dapat
membedakan makna kalimat. Variasi nada yang menyertai unsur segmental dalam
kalimat disebut intonasi, yang biasanya dibedakan menjadi empat, yaitu:
a.
Nada rendah, ditandai dengan angka 1
b.
Nada sedang, ditandai dengan angka 2
c.
Nada tinggi, ditandai dengan angka 3
d.
Nada sangat tinggi, ditandai dengan
angka 4
2.2
Keras-Lemah (Tekanan)
Muslich
(2010) menyatakan bahwa ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan pun tidak pernah
lepas dari keras atau lemahnya bunyi. Hal ini disebabkan oleh keterlibatan energi
otot ketika bunyi itu diucapkan. Suatu bunyi dikatakan mendapat tekanan apabila
energi otot yang dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu diucapkan.
Sebaliknya, suatu bunyi dikatakan tidak medapat tekanan apabila energi otot
yang dikeluarkan lebih kecil ketika bunyi itu diucapkan.
Walaupun
dalam praktiknya kerasnya bunyi juga berpengaruh pada ketinggian bunyi, karena
energi otot berpengaruh juga pada ketegangan pita suara, kedua bunyi
suprasegmental ini bisa dibedakan. Buktinya, tekanan keras dengan nada rendah
pun bisa diucapkan oleh penutur bahasa. Hal ini sangat bergantung pada
fungsinya dalam berkomunikasi.
Variasi
tekanan ini bisa dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) tekanan keras yang
ditandai dengan [´], tekanan sedang ditandai dengan [−], tekanan rendah
ditandai dengan [`], dan tidak ada tekanan, yang ditandai dengan tidak adanya
tanda diakritik. Dalam bahasa-bahasa tertentu, variasi tekanan ini ternyata
bisa membedakan makna pada tataran kata, tekanan selalu bersifat silabis, yaitu
tekanan yang diarahkan pada silaba tertentu. Pada tataran kalimat, tekanan
bersifat leksis, yaitu tekanan yang diarahkan pada kata tertentu yang ingin
ditonjolkan.
Chaer
(2009) menjelaskan bahwa tekanan atau stres
menyangkut masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan
dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti dibarengi
dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan
arus udara yang tidak kuat, sehingga amplitudonya menyempit pasti dibarengi
dengan tekanan lunak. Tekanan ini mungkin terjadi secara sporadis; mungkin juga
telah berpola, mungkin juga bersifat distingtif, artinya dapat membedakan
makna; tapi mungkin juga tidak distingtif.
Dalam
bahasa Indonesia tekanan tidak “berperan” pada tingkat fonemis, melainkan
berperan pada tingkat sintaksis, karena dapat membedakan makna kalimat. Sebagai
contoh kalau kalimat “Dia menangkap ayam itu”, kalau tekanan diberikan pada
kata dia, maka berarti yang menangkap
ayam itu adalah dia, dan bukan orang lain. Dan kalau tekanan diberikan pada
kata itu, maka akan berarti yang
ditangkap adalah ayam itu bukan ayam ini.
2.3
Panjang-Pendek (Durasi)
Bunyi-bunyi
segmental juga dapat dibedakan dari panjang pendeknya ketika bunyi itu
diucapkan. Bunyi panjang untuk vokoid diberi tanda satuan mora, yaitu satuan waktu pengucapan, dengan tanda titik. Tanda
titik satu [.] menandakan satu mora, tanda titik dua [:] menandakan dua mora,
dan tanda titik tiga [:.] menandakan tiga mora. Sementara itu, bunyi-bunyi
untuk kontoid diberi tanda rangkap, dengan istilah geminat. Geminat berbeda
debga homorgan. Secara fonetik, gaminat adalah rentetan artikulasi yang sama
benar (identik) sehingga menimbulkan pemanjangan kontoid; sedangkan homorgan
adalah bunyi-bunyi bahasa yang dibentuk dengan alat atau daerah artikulasi yang
sama, tetapi dengan cara kerja agak berbeda. Misalnya, bunyi [t] dan [d] adalah
bunyi homorgan karena sama-sama apiko-dental, tetapi terdapat perbedaannya,
yaitu tidak bersuara dan bersuara.
Dalam
bahasa-bahasa tertentu variasi panjang pendek bunyi ini ternyata bisa
membedakan makna (sebagai fonem), bahkan bermakna (sebagai morfem).
Misal:
Bahasa
|
Kata
|
Arti
kata
|
Keterangan
|
Bugis
|
Mapeje
|
Asin
|
Kontoid
panjang mempunyai makna atau morfemis
|
Mappeje
|
Membuat
garam
|
||
Arab
|
Habibi
|
Kekasih
|
Kontoid
panjang mempunyai makna atau morfemis
|
habibi:
|
kekasihku
|
Dalam
bahasa Indonesia, aspek durasi ini tidak membedakan makna atau tidak fonemis, juga tidak mempunyai makna atau
tidak morfemis.
Chaer
(2009) menjelaskan bahwa durasi berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau
lama singkatnya suatu bunyi diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik
dua di sebelah kanan bunyi yang diucapkan (...:), atau tanda garis kecil di
atas bunyi segmental yang diucapkan (-). Dalam bahasa Indonesia durasi ini
tidak bersifat fonemis, tidak dapat membedakan makna kata; tetapi dalam
beberapa bahasa lain seperti bahasa arab,
unsur durasi bersifat fonemis.
2.4
Kesenyapan (Jeda)
Menurut
Muslich (2010) yang dimaksud dengan penghentian adalah pemutusan suatu arus
bunyi-bunyi segmental ketika diujarkan oleh penutur. Sebagai akibatnya, akan terjadi
kesenyapan di antara bunyi-bunyi yang terputus itu. Kesenyapan itu bisa berapa
di posisi awal, tegah, dan akhir ujaran.
Kesenyapan
awal terjadi ketika bunyi itu akan diujarkan, misalya ketika akan mengujarkan
kalimat Ini buku terjadi kesenyapan
yang tak terbatas sebelumnya. Kesenyapan tengah terjadi antara ucapan kata-kata
dalam kalimat, misalnya antara ucapan kata ini
dan buku pada Ini buku;
atau ucapan artarsuku kata, misalnya antara suku kata i dan ni pada kata ini, walaupun kesenyapan itu sangat
singkat. Kesenyapan akhir terjadi pada akhir ujaran, misalnya ujaran akhir
kalimat Ini buku terjadi kesenyapan
yang tak terbatas sesudahnya.
Sedangka
Chaer (2009) menjelaskan jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi
dalam arus ujaran. Disebut jeda karena adanya hentian itu, dan disebut
persendian karena di tempat perhentian itulah terjandinya persambungan dua
segmen ujaran. Jeda ini dapat bersifat penuh atau bersifat sementara. Biasanya
dibedakan adanya sendi dalam (internal
juncture) dan sendi luar (open
juncture).
Sendi
dalam menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi
dalam ini yang menjadi batas silabel biasanya ditandai dengan tanda (+).
Contoh:
[am+bil]
[lak+sa+na]
[ke+le+la+war]
Sendi
luar menunjukkan batas yang lebih besar dari silabel. Dalam hal ini biasanya
dibedakan adanya:
a.
Jeda antarkata dalam frase, ditandai
dengan garis miring tunggal (/)
b.
Jeda antarfrase dalam klausa, ditandai
dengan garis miring ganda (//)
c.
Jeda antarkalimat dalam wacana/
paragraf, ditandai dengan garis silang ganda (#)
Tekanan
dan jeda dalam bahasa Indonesia sangat penting karena tekanan dan jeda itu
dapat mengubah makna kalimat. Contoh:
#
buku // sejarah / baru #
#
buku / sejarah // baru #
Kalimat
pertama bermakna ‘buku mengenai sejarah baru’; sedangkan kalimat kedua bermakna
‘buku baru mengenai sejarah’.
Menurut
Muslich (2010) dalam penuturan, keempat jenis suprasegmental tersebut selalu
menyertai bunyi-bunyi segmental. Kerja sama keempat jenis suprasegmental sejak
awal hingga akhir penuturan disebut intonasi.
Jadi, intonasi pada dasarnya bercirikan gabungan nada, tekanan, durasi dan
kesenyapan (jeda). Tidak hanya nada saja, walaupun nada memang sangat menonjol
dalam dalam intonasi ujaran.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Setelah kita memahami unsur-unsur
suprasegmental. Maka, dibawah ini akan disimpulkan secara keseluruhan.
1.
Nada
Nada ini menjadi perhatian fonetisi
karena secara linguistis berpengaruh dalam satuan sistem linguistik tertentu.
Misalnya, nada turun menandakan kelengkapan tutur, sedangkan nada naik
menandakan ketidaklengkapan tuturan.
2.
Tekanan
Tekanan atau stres menyangkut masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi
segmental yang diucapkan dengan arus udara yang kuat sehingga menyebabkan
amplitudonya melebar, pasti dibarengi dengan tekanan keras. Sebaliknya, sebuah
bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat, sehingga
amplitudonya menyempit pasti dibarengi dengan tekanan lunak.
3.
Jeda
Jeda
atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujaran. Disebut jeda
karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena di tempat perhentian
itulah terjandinya persambungan dua segmen ujaran. Jeda ini dapat bersifat
penuh atau bersifat sementara. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam (internal juncture) dan sendi luar (open juncture).
4.
Durasi
Durasi
berkaitan dengan masalah panjang pendeknya atau lama singkatnya suatu bunyi
diucapkan. Tanda untuk bunyi panjang adalah titik dua di sebelah kanan bunyi
yang diucapkan (...:), atau tanda garis kecil di atas bunyi segmental yang
diucapkan (-). Dalam bahasa Indonesia durasi ini tidak bersifat fonemis, tidak
dapat membedakan makna kata; tetapi dalam beberapa bahasa lain seperti bahasa arab, unsur durasi bersifat fonemis.
3.2
Saran
Karya
ilmiah ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan dan pemahaman bagi masyarakat
umumnya dan mahasiswa pada khususnya tentang unsur-unsur suprasegmental. Untuk
mencapai maksud itu maka dipaparkan lah unsur-unsur suprasegmental seperti
nada, tekanan, jeda, dan durasi. Penulis berharap dengan karya ilmiah ini dapat
membantu masyarakat umumnya dan mahasiswa khususnya untuk memahami unsur-unsur
suprasegmental serta dapat menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Penulis juga
sadar bahwa banyak kekurangan dari karya ilmiah ini. Maka dari itu, saran dari
pembaca sangat berguna dan diperlukan untuk pembuatan karya ilmiah selanjutnya
dikemudian hari.
Daftar Pustaka
Chaer,
Abdul.(2009).Fonologi Bahasa Indonesia.Jakarta:Rineka
Cipta.
__________ ,(2007).Linguistik Umum.Jakarta: Rineka Cipta.
Muslich, Masnur.(2010).Fonologi Bahasa Indonesia.Jakarta:Bumi
Aksara.
supra-segmental.html.(14
Desember 2013)
Verhaar,
J.W.M.(2010).Asas-Asas Linguistik Umum.Yogyakarta:
Gadjah
MadaUniversity Press.
Tanpa
nama.Unsur Suprasegmental dalam Fonologi.
2013)