Translate

Minggu, 12 Juli 2015

Kajian Prosa: Novel Pengakuan Pariyem



TUGAS
KAJIAN PROSA









Nama: Ahmat Nafarin
NIM: AAB 112035










PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA


a.    Fungsi Estetika
Fungsi estetika dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi  yaitu ketika pengarang mendeskripsikan keadaan sing hari dengan bahasa yang sangat indah, sehingga menimbulkan kesan keindahan pada pembaca, seperti tampak pada kutipan berikut.
“MATAHARI tegak di pusat langit
Menikmati tajam ubun-ubun saya
Angin sepoi-sepoi basah berhembus dalam cuaca siang yang lekang
Saya hapus keringat di jidat yang tetes berlebaran
(Pengakuan Pariyem 2009:28)

Novel Pengakuan Pariyem penggunaan bahasa yang indah, pembaca juga akan merasakan suatu keindahan dalam novel ini. Dengan bahasa yang indah pula maka pembaca akan lebih menikmati sebuah karya sastra.
b.   Fungsi Didaktif
Fungsi didaktif dalam novel Pengakuan Pariyem, dapat dijumpai saat Pariyem merasa tetangganya akan asing apabila ia dipanggil dengan nama aslinya. Pariyem lebih sering dipanggil Iyem. Ia mengingatkan kata nenek moyang membanggakan nama adalah perbuatan pamer, ini membuktikan penuh dengan unsur mendidik agar tidak sombong.
Bila nama lengkap ngotot saya cantumkan
untuk sembarang waktu dan kesempatan
lha, tidak ilok namanya
Saya yakin, itu percuma
dianggap pamer nama saja
Yang sungguh mati! Saya merasa asing
kuping tetangga pada merasa kurang sreg
dan para priyagung pada berpaling
Bukankah keyakinan, begitu kata nenek moyang kita,
pada hakekatnya adalah sumber kekuatan?
tak pantas diobral sembarangan
(Pengakuan Pariyem 2009:15)

c.    Fungsi Moral
Nilai moralitas dalam novel ini yaitu tingkah laku Pariyem lugu, penurut, patuh, mengerti akan karma dan jujur. Hal ini dapat dibuktikan pada kutipan di bawah ini.
Pariyem, nama saya
lahir di wonosari gunung kidul pulau jawa
tapi kerja di kota pedalaman ngayogyakarta
 umur saya 25 tahun.
Ya,ya pariyem saya,
 maria magdalena pariyem lengkapnya
“iyem” panggilan sehari-harinya, dari wonosari gunung kidul
 sebagai  babu  ndoro kanjeng cokro sentono
di ndalem suryomentaraman ngayogyakarta.
Untuk mengaku pada sembarang orang
ah, ya, mana saya sudi?
“sedang saya pantang dusta
 bila saya dusta pada orang lain
 orang lain akan dusta sama saya
-saya kuwalat
 saya kena hukum karma namanya
            (Pengakuan Pariyem 2009:54)
Dapat dilihat pada kutipan di atas kalau Pariyem itu adalah wanita yang sangat patuh kepada aturan dapat dilihat pada kutipan di atas selain kejujuran, keluguan juga Pariyem mengerti akan adanya hukum karma yang berlaku apabila kita melangkahinya.
d.   Fungsi Religi
Fungsi religiusitas dalam novel Pengakuan Pariyem juga memiliki nilai religius, yaitu nilai agama yang dapat dijumpai pada pengakuan Pariyem yang mengaku beragama Mistik Jawa tetapi di KTP miliknya ditulis Katolik. Ini membuktikan bahwa Pariyem juga memiliki agama dan diakuinya seperti tampak pada kutipan berikut.
“Ya, ya, Pariyem saya
Adapun kepercayaan saya:
Mistik Jawa
Tetapi dalam kartu penduduk
oleh pak lurah dituliskan
Saya beragama Katolik
            (Pengakuan Pariyem 2009:13)
e.    Nilai Sosial
Novel Pengakuan Pariyem memiliki fungsi sosial, dalam konteks sosial Pengakuan Pariyem juga memberikan gambaran bagaimana kondisi sosial politik masyarakat Jawa pada saat itu tahun 1970 dan awal 1980-an. Pariyem jelas mewakili apa yang disebutkan oleh Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java sebagai orang Jawa yang abangan.
Kepercayaan saya katolik mistik alias katolik kejawen.
Maria Magdalena Nama pemandian saya
Maria Magdalena Pariyem lengkapnya
‘Iyem’Pangilan sehari-harinya
Dari wonosari gunung kidul
Tapi nama baptis Maria Magdalena dipakai
Kalau ada keperluan – keperluan resmi saja
Buat mencari surat keterangan bebas G-30-S/PKI
Mencari surat berkelakuan baik dari polisi…..
(Pengakuan Pariyem 2009:25)
f.     Citra Masyarakat



Citra masyarakat dalam novel Pengakuan Pariyem terdapat ketika Pariyem menganggap dirinya rendah di mata orang lain.
            (Pengakuan Pariyem 2009:67)
g.    Konteks Kemasyarakatan
Konteks kemasyarakatan terlihat dalam latar suasana pada novel Pengakuan Pariyem adalah saat Pariyem dilahirkan sampai besar di Yogyakarta. Budaya yang digunakan pada keluarga Pariyem adalah budaya Jawa yang begitu kental dan sangat kental tidak begitu mengikuti zaman. Hal ini dapat di buktikan dari pernyataaan berikut ini.

 Pariyem nama saya
 lahir di wonosari gunung kidul pulau jawa
 tapi kerja di kota pedalaman ngayogyakarta.

Ya,ya pariyem saya
 maria magdalena pariyem lengkapnya
 “iyem” panggilan sehari-harinya
 dari wonosari gunung kidul
 sebagai  babu  ndoro kanjeng cokro sentono
 di ndalem suryomentaraman ngayogyakarta.

“dusun Karang kami lewati
dusun Wonosari ada di depan
 kami menempuh bulak, gliyak-gliyak.

Ya,ya pariyem saya
maria magdalena pariyem lengkapnya
 “iyem” panggilan sehari-harinya
 dari wonosari gunung kidul
 sebagai  babu  ndoro kanjeng cokro sentono
 di ndalem suryomentaraman ngayogyakarta
tata lahirnya
 saya hanya babu
 tapi batinnya
(Pengakuan Pariyem 2009:29)
Dari pernyataan di atas dapat dibuktikan kalau suasana kehidupan masyarakat Yogyakarta adalah seorang yang taat dengan aturan adat Jawa yang kental namun mengikuti perkembangan zaman.
h.   Kodrat Hidup
Kodrat hidup dalam novel Pengakuan Pariyem yaitu Pariyem memang seorang babu, tetapi ia juga seorang puteri karena Pariyem mengandung anak Den  Baguse. Sampai pada saat Pariyem melahirkan anak dan menjadi selir Den Baguse. Pariyem menjadi ibu dari cucu Raden Cokro Sentono.
Ya,ya pariyem saya
maria magdalena pariyem lengkapnya
“iyem” panggilan sehari-harinya
dari wonosari gunung kidul
sebagai  babu  ndoro kanjeng cokro sentono
di ndalem suryomentaraman ngayogyakarta
tata lahirnya
saya hanya babu
tapi batinnya
saya putri mantu
(Pengakuan Pariyem 2009:205)
Kutipan di atas membuktikan bahwa sebenarnya merupakan seorang puteri, itu adalah kodrat hidup sebenarnya dari sisi Pariyem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar