Translate

Minggu, 12 Juli 2015

Kajian Prosa: Ronggeng Dukuh Paruk



TUGAS
KAJIAN PROSA







Nama: Ahmat Nafarin
Nim: AAB 112035








PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PALANGKARAYA


1.    Fungsi Estetika
Fungsi estetika dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yaitu ketika pengarang mendeskripsikan keadaan Dukuh Paruk dengan bahasa yang sangat indah, sehingga menimbulkan kesan keindahan pada pembaca, seperti tampak pada kutipan berikut.
“Di bagian langit lain, seekor burung pipit sedang berusaha memper- tahankan nyawanya. Dia terbang bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus beterbangan. Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.”
“ Angin tenggara bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang. Daun kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun bambu. Berderit baling-baling bambu yang dipasang anak gem- bala di tepian Dukuh Paruk. Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:9)

Novel Ronggeng Dukuh Paruk penggunaan bahasa yang indah, pembaca juga akan merasakan suatu keindahan dalam novel ini. Dengan bahasa yang indah pula maka pembaca akan lebih menikmati sebuah karya sastra.
2.    Fungsi Didaktif
Fungsi didaktif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, dapat dijumpai saat orang-orang Dukuh Paruk percaya bahwa musibah tempe bongkrek hanya diakibatkan oleh asam tembaga. Padahal asam tembaga bukan satu-satunya penyebab timbulnya racun pada tempe bongkrek, melainkan ada semacam bakteri jahat yang juga menyebabkan musibah tempe bongkrek di Dukuh Paruk, seperti tampak pada kutipan berikut.
 “Itu kisah tetek-bengek yang begitu diyakini oleh setiap orang Dukuh Paruk.Siapa pun takkan berhasil mengubah keyakinan itu. Juga orang tak perlu mengutuk warga Dukuh Paruk yang percaya penuh bahwa asam tembaga adalah satu-satunya penyebab bencana. Di kemudian hari aku diberi tahu asam tembaga benar racun. Namun sepanjang menyang- kut malapetaka tempe bongkrek, asam tembaga tak terbukti berperan. Kesalahan harus ditimpakan kepada bakteria jenis pseudomonas cocco- venenans yang ikut tumbuh pada bongkrek dalam peragian. Bakteria itu menghasilkan racun kuat yang menjadi cikal-bakal kematian orang yang makan tempebongkrek.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:33)

Melalui kisah tersebut, pembaca dapat mengetahui dan terarahkan bahwa apa yang dipercayai oleh masyarakat Dukuh Paruk bahwa asam tembaga merupakan satu-satunya akibat timbulnya racun pada tempe bongkrek itu salah. Melainkan adanya racun dalam tempe bongkrek juga disebabkan karena bakteria jenis pseudomonas coccovenenans yang ikut tumbuh pada bongkrek dalam proses peragian yang salah.
3.    Fungsi Moral
Nilai moralitas dalam Ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika adanya upacara malam bukak klambu sebagai syarat menjadi seorang ronggeng, sayembara untuk memperebutkan keperawanan si ronggeng. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
 “Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang har- us dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayem- barakan adalah keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.
Keperawanan Srintil disayembarakan. Bajingan! Bajul buntung! pikirku.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:51)

Kutipan tersebut tampak bahwa moral masyarakat Dukuh Paruk sangat tercela. Keperawanan, yang sejatinya harus dijaga sampai si gadis menikah justru dijadikan syarat menjadi seorang ronggeng dan disayembarakan dengan uang untuk menikmati keperawanan si ronggeng.
4.    Fungsi Religi
Fungsi religiusitas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk juga memiliki nilai religius yang tinggi, yaitu nilai agama yang sangat kental dijumpai pada masyarakat di luar Dukuh Paruk, seperti tampak pada kutipan berikut.
 “Yang tercantik di antara mereka selalu menutup diri di samping ayah- nya. Dia bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar jangan mencoba meng- goda si alim itu. Kata mereka, hanya laki-laki bersembahyang pula bias berharap pada suatu saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi ikatan perkawinan yang sah. Pelanggaran atas ketentuan itu adalah dosa besar.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:86)

Kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa keadaan di luar Dukuh Paruk konsep keperawanan dan pernikahan sangat dijunjung tinggi. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut adalah dosa besar. Artinya, dengan mengenal adanya dosa maka menjadi fungsi religiusitas yang tinggi terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
5.    Nilai Sosial
Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki fungsi sosial, yaitu ketika Rasus menyingkir dan pergi dari kehidupan Dukuh Paruk yang penuh dengan kemaksiatan dan berpindah ke Dawuan yang masyarakatnya kental akan nilai agama. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Dawuan, tempatku menyingkir dari Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti, pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Disana aku dapat melihat kehadiran orang-orang dari perkampungan dalam wilayah kecamatan itu. Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk. Pasar Dawuan menjadi tempat kabar merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut dan seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang paling terpencil bisa didengar di pasar itu.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:81)

Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk yang penuh dengan kemaksiatan menuju Dawuan yang kental akan nilai agama memberi nilai sosial kepada masyarakat bahwa kehidupan yang penuh dengan keburukan harus diubah dan segera hijrah menuju kebaikan hidup.
6.    Citra Masyarakat
Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki citra masyarakat, yaitu ketika Rasus mendengar celotehan pedagang di Dawuan yang mengatakan tidak semua orang yang datang ke pasar berasal dari Dukuh Paruk yang mendapat citra masyarakat di luar Dukuh Paruk sebagai tempat yang serba bebas segalanya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Lihat-lihatlah bila hendak menggoda seorang gadis, Rasus!” kata seorang lainnya. “Di sini memang pasar. Perempuan yang datang berbelanja kemari tidak semua berasal dari Dukuh Paruk. Seorang sundal pun, bila dia bukan perempuan Dukuh Paruk, akan marah bila tersentuh pipinya di depan orang banyak. Meski hanya berpura-pura, namun demikianiah adanya.”
“Masih banyak celoteh lain yang kudengar. Tetapi aku tak bisa mem- perhatikan semuanya. Aku sedang terlanda masuknya nilai baru ke dalam hati, bahwa soal mencubit pipi di luar Dukuh Paruk bisa men- datangkan urusan. Lain benar keadaannya dengan Dukuh Paruk. Di sana, seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis; mendatangi istri tetangga itu dan menidurinya. Habis segala urusan! Tanah airku yang kecil itu hanya mengajarkan pengertian moral tanpa tetek-bengek. Buktinya, siapa anak siapa tidak pernah menjadi nilai yang kaku dan pasti, oleh karenanya tidak pernah menimbulkan urusan.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012;85)

7.    Konteks Kemasyarakatan
Masyarakat Jawa banyak yang percaya ada berbagai macam roh halus yang dapat menyebabkan malapetaka apabila mereka dibuat marah. Untuk menenangkan roh-roh halus ini diberi sesajen, misalnya berupa nasi dan aneka makanan lain atau bunga. Namun, ada roh halus yang dapat membawa keberuntungan. Selain roh halus, ada pula kepercayaan bahwa roh nenek moyang masih ada dan kadang-kadang menjenguk keluarga. Terlihat sekali ketika kerasukan arwah Ki Secamenggala. Saat diadakan upacara Permandian di kuburan Dukuh Paruk dan tarian Srintil, Kartareja tampaknya kerasukan. Seperti tampak pada kutipan berikut.
“Dalam berdirinya, tiba-tiba Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan basah oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah terhuyung-huyung, dan matanya menjadi setengah terpejam”. Kejadian ini langsung ditangkapi oleh Sakarya sebagai kerasukan.Dengan demi- kian, Srintil diminta menari untuk memuaskan Ki Secamenggala. Se- telah Kartareja mulai memeluk Srintil terlalu keras, baru Ki Secamenggala melepaskannya.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:47)

8.    Kodrat Hidup
Orang Jawa percaya bahwa semua yang terjadi di dalam hidup sudah ditentukan. Dalam kata lain, apabila kita menjadi baik atau jahat, pintar atau bodoh, kaya atau miskin, sudah ditentukan sejak sebelum lahir. Ini muncul di Ronggeng Dukuh Paruk ketika Kartareja dan Sakarya mendiskusikan saat Srintil dirasuki olehi indang. Setelah melihat tarian Srintil, Kartareja berpendapat.
“Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk atas restu arwah Ki Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:20)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar