TUGAS
KAJIAN
PROSA
Nama:
Ahmat Nafarin
Nim:
AAB 112035
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN
BAHASA DAN SENI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PALANGKARAYA
1.
Fungsi
Estetika
Fungsi estetika dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yaitu
ketika pengarang mendeskripsikan keadaan Dukuh Paruk dengan bahasa yang sangat
indah, sehingga menimbulkan kesan keindahan pada pembaca, seperti tampak pada
kutipan berikut.
“Di bagian langit
lain, seekor burung pipit sedang berusaha memper- tahankan nyawanya. Dia
terbang bagai batu lepas dari katapel sambil menjerit sejadi-jadinya. Di
belakangnya, seekor alap-alap mengejar dengan kecepatan berlebih. Udara yang
ditempuh kedua binatang ini membuat suara desau. Jerit pipit kecil itu
terdengar ketika paruh alap-alap menggigit kepalanya. Bulu-bulu halus
beterbangan. Pembunuhan terjadi di udara yang lengang, di atas Dukuh Paruk.”
“ Angin tenggara
bertiup. Kering. Pucuk-pucuk pohon di pedukuhan sempit itu bergoyang. Daun
kuning serta ranting kering jatuh. Gemersik rumpun bambu. Berderit
baling-baling bambu yang dipasang anak gem- bala di tepian Dukuh Paruk.
Layang-layang yang terbuat dari daun gadung meluncur naik. Kicau beranjangan
mendaulat kelengangan langit di atas Dukuh Paruk.” (Ronggeng Dukuh Paruk,
2012:9)
Novel Ronggeng
Dukuh Paruk penggunaan bahasa yang indah,
pembaca juga akan merasakan suatu keindahan dalam novel ini. Dengan bahasa yang
indah pula maka pembaca akan lebih menikmati sebuah karya sastra.
2.
Fungsi
Didaktif
Fungsi didaktif dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, dapat dijumpai saat orang-orang Dukuh Paruk
percaya bahwa musibah tempe bongkrek hanya diakibatkan oleh asam tembaga. Padahal
asam tembaga bukan satu-satunya penyebab timbulnya racun pada tempe bongkrek,
melainkan ada semacam bakteri jahat yang juga menyebabkan musibah tempe
bongkrek di Dukuh Paruk, seperti tampak pada kutipan berikut.
“Itu kisah tetek-bengek yang begitu diyakini
oleh setiap orang Dukuh Paruk.Siapa pun takkan berhasil mengubah keyakinan itu.
Juga orang tak perlu mengutuk warga Dukuh Paruk yang percaya penuh bahwa
asam tembaga adalah satu-satunya penyebab bencana. Di kemudian hari aku
diberi tahu asam tembaga benar racun. Namun sepanjang menyang- kut
malapetaka tempe bongkrek, asam tembaga tak terbukti berperan. Kesalahan harus
ditimpakan kepada bakteria jenis pseudomonas
cocco- venenans yang ikut tumbuh pada bongkrek dalam peragian. Bakteria itu
menghasilkan racun kuat yang menjadi cikal-bakal kematian orang yang makan
tempebongkrek.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:33)
Melalui kisah tersebut, pembaca dapat mengetahui dan
terarahkan bahwa apa yang dipercayai oleh masyarakat Dukuh Paruk bahwa asam
tembaga merupakan satu-satunya akibat timbulnya racun pada tempe bongkrek itu
salah. Melainkan adanya racun dalam tempe bongkrek juga disebabkan karena
bakteria jenis pseudomonas coccovenenans
yang ikut tumbuh pada bongkrek dalam proses peragian yang salah.
3.
Fungsi
Moral
Nilai moralitas dalam Ronggeng Dukuh Paruk adalah ketika adanya upacara malam bukak klambu sebagai syarat menjadi
seorang ronggeng, sayembara untuk memperebutkan keperawanan si ronggeng. Hal
ini tampak pada kutipan berikut.
“Dari orang-orang Dukuh Paruk pula aku tahu syarat terakhir yang
har- us dipenuhi oleh Srintil bernama bukak-klambu. Berdiri bulu kudukku
setelah mengetahui macam apa persyaratan itu. Bukak-klambu adalah semacam
sayembara, terbuka bagi laki-laki mana pun. Yang disayem- barakan adalah
keperawanan calon ronggeng. Laki-laki yang dapat menyerahkan sejumlah uang yang
ditentukan oleh dukun ronggeng, berhak menikmati virginitas itu.
Keperawanan Srintil disayembarakan.
Bajingan! Bajul buntung! pikirku.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:51)
Kutipan tersebut tampak bahwa moral masyarakat Dukuh
Paruk sangat tercela. Keperawanan, yang sejatinya harus dijaga sampai si gadis
menikah justru dijadikan syarat menjadi seorang ronggeng dan disayembarakan
dengan uang untuk menikmati keperawanan si ronggeng.
4.
Fungsi
Religi
Fungsi religiusitas dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk juga memiliki nilai religius yang tinggi,
yaitu nilai agama yang sangat kental dijumpai pada masyarakat di luar Dukuh
Paruk, seperti tampak pada kutipan berikut.
“Yang tercantik di antara mereka selalu
menutup diri di samping ayah- nya. Dia bersembahyang, sesuatu yang baru kulihat
di luar Dukuh Paruk. Gadis-gadis lain berbisik kepadaku agar jangan mencoba
meng- goda si alim itu. Kata mereka, hanya laki-laki bersembahyang pula bias
berharap pada suatu saat bisa menjamahnya. Itu pun bila telah terjadi
ikatan perkawinan yang sah. Pelanggaran atas ketentuan itu adalah dosa besar.” (Ronggeng
Dukuh Paruk, 2012:86)
Kutipan tersebut, dapat dilihat bahwa keadaan di luar Dukuh
Paruk konsep keperawanan dan pernikahan sangat dijunjung tinggi. Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut adalah dosa besar. Artinya, dengan mengenal adanya
dosa maka menjadi fungsi religiusitas yang tinggi terdapat dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk.
5.
Nilai
Sosial
Novel Ronggeng
Dukuh Paruk memiliki fungsi sosial, yaitu ketika Rasus menyingkir dan pergi
dari kehidupan Dukuh Paruk yang penuh dengan kemaksiatan dan berpindah ke
Dawuan yang masyarakatnya kental akan nilai agama. Hal ini tampak pada kutipan berikut.
“Dawuan, tempatku menyingkir dari
Dukuh Paruk, terletak di sebelah kota kecamatan. Akan terbukti nanti,
pasar Dawuan merupakan tempat melarikan diri yang tepat. Disana aku dapat
melihat kehadiran orang-orang dari perkampungan dalam wilayah kecamatan itu.
Tak terkecuali orang-orang dari Dukuh Paruk. Pasar Dawuan menjadi tempat kabar
merambat dari mulut ke telinga, dari telinga ke mulut dan
seterusnya. Berita yang terjadi di pelosok yang paling terpencil bisa
didengar di pasar itu.” (Ronggeng Dukuh Paruk, 2012:81)
Kepergian Rasus dari Dukuh Paruk yang penuh dengan
kemaksiatan menuju Dawuan yang kental akan nilai agama memberi nilai sosial
kepada masyarakat bahwa kehidupan yang penuh dengan keburukan harus diubah dan
segera hijrah menuju kebaikan hidup.
6.
Citra
Masyarakat
Novel Ronggeng
Dukuh Paruk memiliki citra masyarakat, yaitu ketika Rasus mendengar
celotehan pedagang di Dawuan yang mengatakan tidak semua orang yang datang ke
pasar berasal dari Dukuh Paruk yang mendapat citra masyarakat di luar Dukuh
Paruk sebagai tempat yang serba bebas segalanya. Hal ini tampak pada kutipan
berikut.
“Lihat-lihatlah bila hendak menggoda seorang gadis,
Rasus!” kata seorang lainnya. “Di sini memang pasar. Perempuan yang datang
berbelanja kemari tidak semua berasal dari Dukuh Paruk. Seorang sundal pun,
bila dia bukan perempuan Dukuh Paruk, akan marah bila tersentuh pipinya di
depan orang banyak. Meski hanya berpura-pura, namun demikianiah adanya.”
“Masih banyak celoteh lain yang kudengar. Tetapi aku
tak bisa mem-
perhatikan semuanya. Aku sedang terlanda masuknya
nilai baru ke dalam hati, bahwa soal mencubit pipi di luar Dukuh Paruk bisa men- datangkan urusan. Lain benar keadaannya dengan Dukuh
Paruk. Di sana, seorang suami misalnya, tidak perlu berkelahi bila suatu saat
menangkap basah istrinya sedang tidur bersama laki-laki tetangga. Suami
tersebut telah tahu cara bertindak yang lebih praktis; mendatangi istri
tetangga itu dan menidurinya. Habis segala urusan! Tanah airku yang kecil itu
hanya mengajarkan pengertian moral tanpa tetek-bengek. Buktinya, siapa anak
siapa tidak pernah menjadi nilai yang kaku dan pasti, oleh karenanya tidak pernah
menimbulkan urusan.”
(Ronggeng Dukuh Paruk, 2012;85)
7.
Konteks
Kemasyarakatan
Masyarakat Jawa banyak yang percaya ada berbagai macam
roh halus yang dapat menyebabkan malapetaka apabila mereka dibuat marah. Untuk
menenangkan roh-roh halus ini diberi sesajen, misalnya berupa nasi dan aneka
makanan lain atau bunga. Namun, ada roh halus yang dapat membawa keberuntungan.
Selain roh halus, ada pula kepercayaan bahwa roh nenek moyang masih ada dan
kadang-kadang menjenguk keluarga. Terlihat sekali ketika kerasukan arwah Ki
Secamenggala. Saat diadakan upacara Permandian
di kuburan Dukuh Paruk dan tarian Srintil, Kartareja tampaknya kerasukan.
Seperti tampak pada kutipan berikut.
“Dalam berdirinya, tiba-tiba
Kartareja menggigil tegang. Mata dukun ronggeng itu terbeliak menatap langit. Wajahnya pucat dan
basah oleh keringat. Sesaat kemudian tubuh Kartareja mengejang. Dia melangkah
terhuyung-huyung, dan matanya menjadi setengah terpejam”. Kejadian ini langsung
ditangkapi oleh Sakarya sebagai kerasukan.Dengan demi- kian, Srintil diminta
menari untuk memuaskan Ki Secamenggala. Se- telah Kartareja mulai memeluk
Srintil terlalu keras, baru Ki Secamenggala melepaskannya.” (Ronggeng Dukuh Paruk,
2012:47)
8.
Kodrat
Hidup
Orang Jawa percaya bahwa semua yang terjadi di dalam
hidup sudah ditentukan. Dalam kata lain, apabila kita menjadi baik atau jahat,
pintar atau bodoh, kaya atau miskin, sudah ditentukan sejak sebelum lahir. Ini
muncul di Ronggeng Dukuh Paruk ketika
Kartareja dan Sakarya mendiskusikan saat Srintil dirasuki olehi indang. Setelah melihat tarian Srintil,
Kartareja berpendapat.
“Srintil dilahirkan di Dukuh Paruk
atas restu arwah Ki Secamenggala dengan tugas menjadi ronggeng.” (Ronggeng
Dukuh Paruk, 2012:20)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar